Senin, 08 November 2010

Dampak Positif dan Negatif Bangunan Candi Borobudur Terhadap Lingkungan

Dijadikannya Candi Borobudur sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia telah memberikan sumbangan yang tidak kecil pada peningkatan devisa negara. Pengunjung Candi Borobudur Baru tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan jumlah pengunjung di satu pihak dapat menambah pendapatan negara dan masyarakat di sekitarnya, tetapi di lain pihak juga dapat mengancam kelestarian candi ini. Candi yang dibangun kira-kira abad VIII pada masa pemerintahan wangsa Sailendra ini telah kurang lebih 1260 tahun berada di alam terbuka, artinya bahan bangunan yang terbuat dart batu andesit itu juga telah mengalami proses degradasi (pelapukan) oleh faktor waktu dan alam.

Meningkatnya jumlah pengunjung ke Candi Borobudur akan memberikan dampak kurang baik bagi upaya pelestarian warisan budaya. Oleh karena itu, perlu dibuat wilayah peredam yang dapat mengham¬bat pengunjung agar tidak naik bersama-sama ke candi, yaitu dengan membuat taman wisata di lingkungan candi. Keberadaan taman wisata diharapkan membuat pengunjung akan tersebar ke berbagai penjuru taman. Dengan tersebarnya pengunjung akan mengurangi beban yang ditanggung oleh bangunan candi (Tanudirjo, 1993-1994).

Ada dua faktor utama penyebab terjadinya degradasi pada bangunan candi, yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor dari dalam biasanya disebabkan oleh keroposnya bangunan itu sendiri, seperti konstruksi dan bahan penyusunnya. Faktor dari luar adalah pengaruh lingkungan biotik, abiotik, dan khernis. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biotik adalah tumbuhnya tanaman tingkat tinggi ( ilalang, perdu, pohon-pohon besar ) dan tanaman tingkat rendah (lumut, jamur, jamur kerak, dan algae). Selain itu, kerusakan juga disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Kerusakan disengaja seperti corat-coret, pencurian, pengotoran, batu penyusun jatuh karena dipanjat, sedangkan kerusakan tidak disengaja seperti terjadinya keausan batu pada lantai bangunan dan kerontokan. Kerontokan terjadi akibat pembersihan gulma pada batu candi dengan menggunakan sikat.

Dampak Positif

Nilai estetika (aesthetic value) adalah nilai keindahan yang dapat menarik dan atau mendorong wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. W.O.J. Nieuwenkamp beranggapan bahwa bentuk candi Borobudur itu pada dasarnya merupakan bentuk bunga padma (lotus). Maka jika dilihat dari atas tingkat Kamadhatu dan Rupadhatu dapat disamakan dengan kelopak-kelopak dari bunganya, sedangkan tingkatan Arupadhatu, tempat stupa-stupa itu berada, dianggap sama dengan putik¬putik sarinya.(Subroto, 2003).

· Nilai historis (historic value) adalah nilai kesejarahan yang dimiliki suatu objek atau peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan objek tersebut. Nilai historis bangunan Candi Borobudur dapat diketahui, baik dari sumber tertulis, seperti prasasti dan karya sastra, maupun sumber tak tertulis, misalnya gaya bangunan, seni area, dan unsur-unsur bangunan lainnya.

· Nilai arkeologi (archaeological value) adalah nilai yang berkaitan dengan kekunaan yang meliputi bentuk arsitektur, tahapan pembangunan, dan temuan artefak di sekitarnya. Bentuk arsitektur Candi Borobudur adalah perpaduan antara arsitektur Indonesia asli yang ditandai dengan empat tingkat berundak menyerupai punden yakni ciri khas bangunan yang diperuntukkan bagi pemujaan roh nenek moyang (Soekmono, 1982) dengan arsitektur India yang dicirikan oleh bentuk stupa sebagai puncaknya. Stupa sendiri adalah prototip dari makam raja yang berbentuk kubah dari timbunan bata atau tanah yang disebut "tumulus" (Brown, 1976).

· Keputusan pemerintah menjadikan Candi Borobdur sebagai objek wisata budaya membawa dampak positif terhadap bangunan dan situsnya, perlindungan dan pelestarian sumber daya budaya ini semakin diperhatikan. Pemintakatan (zonasi) yang dilakukan di situs Candi Borobudur merupakan salah satu upaya untuk melindungi Candi Borobudur dari kerusakan baik yang disebabkan oleh faktor manusia dan binatang maupun fatktor alam. Candi Borobudur dibagi menjadi tiga zone yaitu; Zone I adalah zone inti yang di dalamnya tidak boleh didirikan bangunan kecuali pos penjagaan, zone II adalah zone penyanggah berfungsi sebagai sabuk hijau pengaman, dan zone III adalah zone pengembangan yang diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi dan perkantoran pengelola objek.

Dampak Negatif

· Dampak negatif yang dapat ditemukan di Candi Borobudur setelah Candi itu dijadikan objek wisata adalah vandalisme, sampah, keausan batu-batu candi, kerontokan, retakan, dan rembesan air. Kegiatan vandalisme banyak jenisnya seperti memanjat-manjat dinding candi dan stupa, pencungkilan relief, corat-coret, dan peledakan. Sampah yang ditemukan di Candi Borobudur berupa kertas pembungkus, sisa makanan, plastik, puntung rokok, kotoran manusia, daun, biji-bijian, buah-buahan, pecahan botol, kaleng minuman, dan abu. Sampah yang ukurannya kecil dapat masuk ke sela-sela batu yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan pada saluran air. Selain dapat menyumbat saluran-saluran air, sampah berupa biji-bijian seperti biji jeruk, rambutan dan salak dapat tumbuh di sela-sela batu Candi Borobudur.

· Di Candi Borobudur, ditemukan beberapa batu penyusun yang mengalami keausan tersebar pada lantai dan tangga candi. Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa di Candi Borobudur ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan (Sutantio, 1985), sedangkan hasil pengamatan di tahun 2000 jumlah batu yang mengalami keausan menjadi 1.383 blok batu (Sadirin, 2002), berarti terjadi peningkatan kerusakan sebesar 582 blok batu. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi keausan sebesar 36 blok batu. Terjadinya keausan pada batu candi disebabkan oleh gesekan antara pasir yang menempel pada alas kaki pengunjung dengan bate candi.

· Hasil percobaan yang dilakukan oleh Sukronedi dan teman pada tahun 2000 menunjukkan bahwa akibat penggosokan yang dilakukan pada saat pembersihan gulma pada batu-batu candi, menyebabkan kerontokan pada bate yang berbeda-beda tergantung pada alat yang digunakan. Pada percobaan tersebut, digunakan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda-beda yakni 3 cm, 2 cm, dan 1 cm. Luas bidang yang digosok adalah 100 cm2, tekanan penggosokan rata-rata 5 kg/cm2, serta lama penggosokan 10 menit dengan jumlah gosokan 100 kali gosokan.
Penggunaan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda juga menghasilkan kerontokan yang berbeda pula. Sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 3 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 8,76 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 2,75 ml, sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 2 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 9,45 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 3,25 ml, dan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 1 cm menghasilkan kerontokan 18,52 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 6,25 ml (Sukronedi, 2000; 32)

· Hasil observasi lapangan, sampai Desember 2003, menemukan retakan-retakan yang terjadi pada batu-batu Candi Borobudur sebanyak 1.536 batu. Penyebab keretakan dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi beban yang harus ditanggung Candi Borobudur yang terdiri atas beban stabs dan beban dinamis, serta tumpuan tidak merata.

· Salah satu faktor penting penyebab kerusakan Candi Borobudur adalah masalah air, terutama yang merembes pada batu-batu candi. Oleh karena itu, pemugaran yang dilakukan pada tahun 1973-1983 adalah kegiatan untuk mengatasi masalah air. Meskipun demikian, sampai sekarang masih dijumpai adanya rembesan air pada dinding candi. Hasil observasi, sampai dengan tahun 2002, ditemukan 112 lokasi rembesan yaitu 81 lokasi pada dinding lorong tingkat satu, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat dua, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat tiga, dan 19 lokasi pada dinding lorong tingkat empat (Sadirin, 2002).

Kesimpulan
Pemanfaatan sumberdaya budaya Candi Borobudur telah membawa dampak positif ataupun negatif baik terhadap masyarakat di sekitarnya maupun candinya. Dampak positif terhadap masyarakat dapat dilihat dari peningkatan ekonomi dengan munculnya berbagai lapangan kerja baru seperti perhotelan, rumah makan, fotografer, dan pedagang asongan. Di bidang sosial budaya, dampak positif dapat dilihat dengan munculnya relasi-relasi baru dalam masyarakat seperti terbentuknya paguyuban andong wisata, becak wisata, munculnya kelompok-kelompok kesenian, bahkan pada tataran yang lebih besar muncul beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti PATRA PALA dan MAPAN. Dampak negatif dari pemanfaatan Candi Borobudur untuk pariwisata tidak begitu terlihat di desa Borobudur dan sekitarnya, namun mulai ditengarai dan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya seperti cara berpakaian dan pergaulan anak-anak muda meniru cara bergaul dan berpakaian orang-orang barat. Oleh karena itu, mereka mulai membentuk suatu yayasan yang dinamai Masyarakat Peduli Borobudur (MAPAN).

Berkaitan dengan dampak positif kegiatan pariwisata terhadap monumen Candi Borobudur adalah upaya perlidungan dan pelestarian sumberdaya budaya semakin diperhatikan. Upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan adalah peningkatan yang bertujuan melindungi Candi Borobudur dari kegiatan vandalisme. Selain itu, dana untuk kegiatan teknis konservasi yang selama ini berasal dari dana APBN, mulai tahun 2004 direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menyediakan dana untuk pelestarian Candi Borobudur. Sementara itu, dampak negatif juga terjadi di monumen Candi Borobudur akibat pariwisata dan kegiatan pelestarian seperti vandalisme, sampah, keausan, kerontokan, rembesan air, dan keretakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar