Perburuhan adalah suatu kejadian dimana seseorang yang disebut buruh/pekerja/tenaga kerja bekerja pada orang lain yang disebut majikan dan mendapatkan upah dari majikan tersebut dari hasil kerjanya itu.
UU No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Contoh Penerapan Hukum Perburuhan dalam Pekerja Outsourcing :
“Dalam konteks yang sangat paradox inilah perlu dilakukan kajian mendasar
dalam tataran implementasi hak-hak dasar buruh kemudian dikritisi bahkan dicarikan
solusinya. Bukankah kapitalisme financial, neo-leberalisasi, globalisasi ekonomi dan
pasar bebas di satu sisi akan berhadap-hadapan secara diametral dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia di sisi lain”.2
Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal berlakunya
hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum, dimana
berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka
kepada siapa hukum tadi tertuju. Nyatanya legalisasi system outsourcing ditolak
oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progesivitas gerakan
pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini
menghendaki perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar
hak-hak dasar mereka.
Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya
pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari
banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma
Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam
menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core
business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang
merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam
praktiknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama
perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang dioutsource
mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis
pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh
undang-undang;
2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima
pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum.
3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing
sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja
langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fakta dan peristiwa yang sering terjadi berupa:
a. hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor tidak dibuat dalam
bentuk Perjanjian Kerja secara tertulis, sehingga status pekerja/buruh
menjadi tidak jelas, apakah berdasarkan PKWT atau PKWTT, karena
ketidakjelasan status ini sewaktu-waktu pekerja/buruh dapat diberhentikan
(di-PHK) tanpa uang pesangon.
“akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering menimbulkan
persoalan, khususnya masalah ketidakpastian hubungan kerja.
Perusahaan outsourcing biasanya membuat perjanjian kontrak dengan
pekerja apabila ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Kontrak tersebut biasanya hanya berlaku selama pekerjaan masih
tersedia, dan apabila kontrak atas pekerjaan tersebut telah berakhir,
maka hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga
berakhir. Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing
memberlakukan prinsip no work no pay, yaitu pekerja tidak akan digaji
selama tidak bekerja, sekalipun hubungan kerja di antara mereka telah
berlangsung bertahun-tahun”.6
b. vendor membayar upah murah yang tidak sesuai dengan standar upah
minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh;
c. tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh, serta
perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur;
d. pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek
yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),
Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
Pengusaha juga tidak memberikan pelayanan peningkatan kesehatan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya;
e. secara umum vendor tidak menerapkan norma Keselamatan dan Kesehatan
Kerja bagi pekerja/buruhnya.
f. sebagai pekerja kontrak, maka Pekerja/buruh outsourcing tidak ada job
security dan jaminan pengembangan karier, tidak ada jaminan kelangsungan
kerja, tidak memperoleh THR dan tidak diberikan pesangon setelah di PHK,
serta tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum, selama dan setelah
pekerja/buruh bekerja.
UU No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
- PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
- Ketentuan hukum PHK dapat bersifat perdata, yaitu mengenai pemberitahuan, tenggang waktu dan saat PHK.
- PHK diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5, dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk memutuskan hubungan kerja diatur dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep‐78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep‐ 150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.
Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. PHK demi hukum: terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.
2. PHK oleh pihak pekerja: terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu.
3. PHK oleh pihak pengusaha: terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu.
4. PHK oleh putusan pengadilan: terjadi karena alasanalasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit.
Kesimpulan :
Bagaimanapun buruh / pekerja juga manusia yang tidak pantas diperlakukan dengan semaunya saja. Disini peranan pemerintah sangat penting untuk membuat para buruh / pekerja bisa hidup layak dan sejahtera, dengan membuat peraturan UU yang harus di taati oleh para pihak yang mempekerjakan para buruh / pekerja tersebut dan membuat para pihak yang mempekerjakan tersebut tidak semaunya / seenakya sendiri dalam mempekerjakan mereka. Dan tentang UU PHK, para pengusaha juga tidak boleh semaunya / seenaknya sendiri untuk memecat para pekerjanya dengan alasan yang tidak jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar