Selasa, 29 November 2011

Hukum Perburuhan

Perburuhan adalah suatu kejadian dimana seseorang yang disebut buruh/pekerja/tenaga kerja bekerja pada orang lain yang disebut majikan dan mendapatkan upah dari majikan tersebut dari hasil kerjanya itu.

UU No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh

Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.

Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.

Contoh Penerapan Hukum Perburuhan dalam Pekerja Outsourcing :

“Dalam konteks yang sangat paradox inilah perlu dilakukan kajian mendasar

dalam tataran implementasi hak-hak dasar buruh kemudian dikritisi bahkan dicarikan

solusinya. Bukankah kapitalisme financial, neo-leberalisasi, globalisasi ekonomi dan

pasar bebas di satu sisi akan berhadap-hadapan secara diametral dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia di sisi lain”.2

Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal berlakunya

hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum, dimana

berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka

kepada siapa hukum tadi tertuju. Nyatanya legalisasi system outsourcing ditolak

oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progesivitas gerakan

pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini

menghendaki perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar

hak-hak dasar mereka.

Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya

pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari

banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma

Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam

menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat

dikategorikan sebagai berikut:

1. perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core

business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang

merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam

praktiknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama

perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang dioutsource

mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis

pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses

produksi, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh

undang-undang;

2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima

pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum.

3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing

sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja

langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fakta dan peristiwa yang sering terjadi berupa:

a. hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor tidak dibuat dalam

bentuk Perjanjian Kerja secara tertulis, sehingga status pekerja/buruh

menjadi tidak jelas, apakah berdasarkan PKWT atau PKWTT, karena

ketidakjelasan status ini sewaktu-waktu pekerja/buruh dapat diberhentikan

(di-PHK) tanpa uang pesangon.

“akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering menimbulkan

persoalan, khususnya masalah ketidakpastian hubungan kerja.

Perusahaan outsourcing biasanya membuat perjanjian kontrak dengan

pekerja apabila ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.

Kontrak tersebut biasanya hanya berlaku selama pekerjaan masih

tersedia, dan apabila kontrak atas pekerjaan tersebut telah berakhir,

maka hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga

berakhir. Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing

memberlakukan prinsip no work no pay, yaitu pekerja tidak akan digaji

selama tidak bekerja, sekalipun hubungan kerja di antara mereka telah

berlangsung bertahun-tahun”.6

b. vendor membayar upah murah yang tidak sesuai dengan standar upah

minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh;

c. tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh, serta

perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan

Upah Kerja Lembur;

d. pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek

yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),

Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Pengusaha juga tidak memberikan pelayanan peningkatan kesehatan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya;

e. secara umum vendor tidak menerapkan norma Keselamatan dan Kesehatan

Kerja bagi pekerja/buruhnya.

f. sebagai pekerja kontrak, maka Pekerja/buruh outsourcing tidak ada job

security dan jaminan pengembangan karier, tidak ada jaminan kelangsungan

kerja, tidak memperoleh THR dan tidak diberikan pesangon setelah di PHK,

serta tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum, selama dan setelah

pekerja/buruh bekerja.

UU No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.

- PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

- Ketentuan hukum PHK dapat bersifat perdata, yaitu mengenai pemberitahuan, tenggang waktu dan saat PHK.

- PHK diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5, dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk memutuskan hubungan kerja diatur dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. PHK demi hukum: terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.

2. PHK oleh pihak pekerja: terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu.

3. PHK oleh pihak pengusaha: terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu.

4. PHK oleh putusan pengadilan: terjadi karena alasanalasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit.

Kesimpulan :

Bagaimanapun buruh / pekerja juga manusia yang tidak pantas diperlakukan dengan semaunya saja. Disini peranan pemerintah sangat penting untuk membuat para buruh / pekerja bisa hidup layak dan sejahtera, dengan membuat peraturan UU yang harus di taati oleh para pihak yang mempekerjakan para buruh / pekerja tersebut dan membuat para pihak yang mempekerjakan tersebut tidak semaunya / seenakya sendiri dalam mempekerjakan mereka. Dan tentang UU PHK, para pengusaha juga tidak boleh semaunya / seenaknya sendiri untuk memecat para pekerjanya dengan alasan yang tidak jelas.