Selasa, 29 November 2011

Hukum Perburuhan

Perburuhan adalah suatu kejadian dimana seseorang yang disebut buruh/pekerja/tenaga kerja bekerja pada orang lain yang disebut majikan dan mendapatkan upah dari majikan tersebut dari hasil kerjanya itu.

UU No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh

Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.

Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.

Contoh Penerapan Hukum Perburuhan dalam Pekerja Outsourcing :

“Dalam konteks yang sangat paradox inilah perlu dilakukan kajian mendasar

dalam tataran implementasi hak-hak dasar buruh kemudian dikritisi bahkan dicarikan

solusinya. Bukankah kapitalisme financial, neo-leberalisasi, globalisasi ekonomi dan

pasar bebas di satu sisi akan berhadap-hadapan secara diametral dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia di sisi lain”.2

Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal berlakunya

hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum, dimana

berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka

kepada siapa hukum tadi tertuju. Nyatanya legalisasi system outsourcing ditolak

oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progesivitas gerakan

pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini

menghendaki perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar

hak-hak dasar mereka.

Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya

pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari

banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma

Keselamtan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam

menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat

dikategorikan sebagai berikut:

1. perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core

business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang

merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam

praktiknya yang di-outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama

perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang dioutsource

mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis

pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses

produksi, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh

undang-undang;

2. Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima

pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum.

3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing

sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja

langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fakta dan peristiwa yang sering terjadi berupa:

a. hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor tidak dibuat dalam

bentuk Perjanjian Kerja secara tertulis, sehingga status pekerja/buruh

menjadi tidak jelas, apakah berdasarkan PKWT atau PKWTT, karena

ketidakjelasan status ini sewaktu-waktu pekerja/buruh dapat diberhentikan

(di-PHK) tanpa uang pesangon.

“akan tetapi dari sisi tenaga kerja, kondisi demikian sering menimbulkan

persoalan, khususnya masalah ketidakpastian hubungan kerja.

Perusahaan outsourcing biasanya membuat perjanjian kontrak dengan

pekerja apabila ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.

Kontrak tersebut biasanya hanya berlaku selama pekerjaan masih

tersedia, dan apabila kontrak atas pekerjaan tersebut telah berakhir,

maka hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing juga

berakhir. Dalam kondisi demikian biasanya perusahaan outsourcing

memberlakukan prinsip no work no pay, yaitu pekerja tidak akan digaji

selama tidak bekerja, sekalipun hubungan kerja di antara mereka telah

berlangsung bertahun-tahun”.6

b. vendor membayar upah murah yang tidak sesuai dengan standar upah

minimum dan kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh;

c. tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat bagi pekerja/buruh, serta

perhitungan upah kerja lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan

Upah Kerja Lembur;

d. pekerja/buruh outsourcing tidak diikutsertakan dalam program jamsostek

yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),

Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Pengusaha juga tidak memberikan pelayanan peningkatan kesehatan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya;

e. secara umum vendor tidak menerapkan norma Keselamatan dan Kesehatan

Kerja bagi pekerja/buruhnya.

f. sebagai pekerja kontrak, maka Pekerja/buruh outsourcing tidak ada job

security dan jaminan pengembangan karier, tidak ada jaminan kelangsungan

kerja, tidak memperoleh THR dan tidak diberikan pesangon setelah di PHK,

serta tidak terpenuhi hak-hak dasar lainnya sebelum, selama dan setelah

pekerja/buruh bekerja.

UU No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.

- PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

- Ketentuan hukum PHK dapat bersifat perdata, yaitu mengenai pemberitahuan, tenggang waktu dan saat PHK.

- PHK diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5, dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk memutuskan hubungan kerja diatur dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. PHK demi hukum: terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.

2. PHK oleh pihak pekerja: terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu.

3. PHK oleh pihak pengusaha: terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu.

4. PHK oleh putusan pengadilan: terjadi karena alasanalasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit.

Kesimpulan :

Bagaimanapun buruh / pekerja juga manusia yang tidak pantas diperlakukan dengan semaunya saja. Disini peranan pemerintah sangat penting untuk membuat para buruh / pekerja bisa hidup layak dan sejahtera, dengan membuat peraturan UU yang harus di taati oleh para pihak yang mempekerjakan para buruh / pekerja tersebut dan membuat para pihak yang mempekerjakan tersebut tidak semaunya / seenakya sendiri dalam mempekerjakan mereka. Dan tentang UU PHK, para pengusaha juga tidak boleh semaunya / seenaknya sendiri untuk memecat para pekerjanya dengan alasan yang tidak jelas.

Rabu, 26 Oktober 2011

Hukum Perikatan - Perjanjian

Hukum perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan. Salah satu bentuk dari hukum perikatan adalah kontrak kerja. Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb maka perlu dibuat suatu kontrak kerja sehingga masing-masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal - hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.

Dasar-Dasar Hukum Perikatan :
1. Buku III KUHPerdata
2. Buku III KUHPerdata bersifat pelengkap
3. Buku III KUHPerdata bersifat terbuka
Perjanjian
4. UU – undang-undang semata-mata
5. UU karena perbuatan manusia yang halal dan melawan hukum
6. Yurisprudensi
7. Hukum tertulis dan tidak tertulis
8. Ilmu Pengetahuan

Macam-Macam Perikatan :
1. Perikatan bersyarat suatu perikatan yang di gantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari yang masih belum tentu.
2. Perikatan yang di gantungkan pada suatu ketetapan waktu suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana sedangkan yang kedua suatu hal yang pasti akan datang meskipun belum dapat di tentukan kapan datangnya
3. Perikatan yang bolehkan memilih suatu perikatan di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi sedangkan kepada si berhutang di serahkan yang mana yang akan di lakukan

Unsur-Unsur Perikatan :
1. Hubungan hukum
2. Harta kekayaan
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak
4. Prestasi

Azas-Azas Dalam Hukum Perikatan :
1. Asas Konsensualisme
- Kontrak harus didasarkan kata sepakat dari para pihak yang mengadakan kontrak
- Kontrak dilahirkan dari kata sepakat
- Kata sepakat adalah sumber hukum kewajiban kontraktual
2. Asas Kebebasan Berkontrak
- Kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan oleh kehendak para pihak
- Kontrak adalah hasil pilihan bebas individu
- Kontrak adalah bertemunya kehendak bebas para pihak
- Kata sepakat harus didasarkan pada kehendak bebas
3. Asas Kekuatan Mengikat Kontrak
- Segala sesuatu yang telah disepakati dalam perjanjian menjadi suatu kewajiban hukum bagi para pihak yang membuat kesepakatan tersebut
- Para pihak harus mematuhi atau melaksanakan isi perjanjian tersebut.

Kontrak

Kontrak pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat dengan istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001).

Dalam bahasa Inggris, hukum kontrak merupakan terjemahan dari contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Friedman (2001) mengartikan hukum kontrak sebagai :

“ Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis

perjanjian tertentu”

Dengan demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah

sebagai berikut :

1. Adanya Kaidah Hukum

Kaidah dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak tertulis. Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari hukum adat).

2. Adanya Subjek Hukum

Subjek hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya Prestasi ( Objek Hukum )

Prestasi merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :

a. memberikan sesuatu

b. berbuat sesuatu, dan

c. tidak berbuat sesuatu

4. Kata Sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian. Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

CONTOH APLIKASI HUKUM PERIKATAN - PERJANJIAN

KONTRAK
PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
CV. ……………
dengan
…………………………………………………

_________________________________________________________________
Nomor : …………………….
Tanggal : …………………….
Pada hari ini ………, tanggal ……………kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. ……. dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di ……………………………………………………………………………………
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :

Pasal 1

Tujuan Kontrak
Tujuan kontrak ini adalah bahwa Pihak Pertama melaksanakan dan, menyelesaikan pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang berlokasi tersebut diatas.

Pasal 2

Bentuk Pekerjaan
Bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan Perencanaan ( gambar kerja, spesifikasi material dan bahan, serta time schedule proyek ).
Terlampir Timeschedule Perencanaan no. bp/071009/2007, tertanggal 09 oktober 2007
2. Pekerjaan Bangunan ( pelaksanaan konstruksi bangunan, sesuai dengan spesifikasi material dan bahan yang akan dilampirkan oleh pihak pertama pada saat Pekerjaan Perencanaan selesai, dan telah disetujui oleh pihak kedua )

Pasal 3

Sistem Pekerjaan
Sistem pekerjaan yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebagai berikut :
1. Pihak kedua menggunakan system penunjukan langsung dengan memberikan anggaran biaya ( budget ). Pihak Kedua memberikan anggaran biaya kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
2. Anggaran Biaya sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ) termasuk rincian :
a. Pekerjaan Perencanaan
b. Pekerjaan Bangunan
Dan tidak termasuk :
a. Pajak – pajak yang di timbulkan atas pelaksanaan pembangunan termasuk : Pajak kontraktor, pajak pribadi, pajak membangun sendiri dan lain-lain.
b. IMB ( Ijin mendirikan bangunan ) mulai dari tingkat klian banjar, lurah / kepala desa, camat dan pihak ciptakarya badung.
3. Pihak pertama berhak menentukan luasan ruang bangunan, spesifikasi bahan dan material bangunan, dan bentuk bangunan yang akan disesuaikan dengan anggaran biaya ( budget ) yang di berikan oleh pihak kedua.

Pasal 4

Biaya
Adapun biaya pembangunan rumah tinggal tersebut adalah Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).

Pasal 5

Sistem Pembayaran
Pembayaran atas pekerjaan pembangunan tersebut diatas dilakukan dalam beberapa tahap yaitu :
Tanda Jadi :Tanda jadi sebesar Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan perencanaan ( Pasal 2 ayat 1 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ……………………
Downpayment Pembayaran 30 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 630.000.000 (enam ratus tiga puluh juta rupiah) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan bangunan ( Pasal 2 ayat 2 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ………..
Tahap I Pembayaran 25 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 525.000.000 (lima ratus dua puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan dinding dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap II Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan atap dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap III Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan lantai dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pelunasan Pembayaran 5% x Rp 2.100.000.000 = Rp. 105.000.000 dikurangi tanda jadi Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 95.000.000 (sembilan puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan selesai.
yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pembayaran tersebut harus dilakukan melalui transfer ke rekening :
Penerima : CV ……..
Bank : ………………………………………………………………………………
No rekening : ………………………………………………………………………………

Pasal 6

Jangka Waktu Pengerjaan
Jangka waktu pengerjaan adalah ……………… bulan, terhitung setelah kontrak ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pembayaran tahap pertama diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal ……………………………………………………….
Apabila terjadi keterlambatan pengerjaan pembangunan dari waktu yang telah ditentukan, maka Pihak Pertama wajib membayar denda kepada Pihak Kedua sebesar Rp. 10.000/hari. ( Sepuluh ribu rupiah perhari ).

Pasal 7

Perubahan
Apabila pada waktu pengerjaan pelaksanaan konstruksi terdapat perubahan perubahan terhadap luasan, posisi dan bentuk serta penambahan material bangunan, diluar dari perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah Pihak, maka Pihak Kedua wajib membayar setiap perubahan pembongkaran dan pemasangan kembali yakni sebesar Rp. 100.000/M2. ( seratus ribu rupiah permeter persegi )

Pasal 8

Masa Pemeliharaan
1. Masa pemeliharaan berlaku selama 3 bulan, setelah selesai pekerjaan/serah terima hasil pekerjaan yang diikuti dengan penandatanganan berita acara penyerahan bangunan.
2. Apabila dalam masa pemeliharaan tersebut terdapat kerusakan yang disebabkan bukan dari pekerjaan Pihak Pertama, maka Pihak Kedua tidak berhak menuntut Pihak Pertama untuk mengerjakannya.
Namun, Pihak Pertama dapat memperbaiki kerusakan tersebut sesuai dengan formulir perubahan dengan biaya yang ditanggung oleh Pihak Kedua sebesar Rp. 100.000/M2 ( termasuk biaya upah tukang & material ).

Pasal 9

Lain – Lain
Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan bersama- sama mematuhi dengan baik dan bertanggung jawab terhadap seluruh kesepakatan kerja yang telah disetujui.
Demikian Kontrak Kerja ini telah di setujui dan di tanda tangani untuk dilaksanakan dengan sebagai mana mestinya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.

Pihak Pertama
(…………………… )

Pihak Kedua
( …………………. )
CV. ………..

Ini adalah salah satu contoh kontrak kerja pihak kontaktor/arsitek dengan seorang owner.
kontrak ini sudah cukup jelas, hanya saja tidak ada point sangsi-sangsi bagi kontaktor/arsitek jika terjadi kesalahan atau ketidak sesuaian dengan apa yang telah owner minta dan sepaakti sebelumnyajuga apabila terjadi kesalahan -kesalahan struktur yang dapat mengakibatkan bangunan hancur. sebaiknya segala kemungkinan disepakati bersama agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.

sumber :

http://bernadus-eric.blogspot.com/2010/11/hukum-pranata-pembangunan.html
http://pebi-ebiee.blogspot.com/2010/11/contoh-kontrak-kerja.html

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PEMUKIMAN

Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.

Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.

Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.

Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.

Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.

  • Bab 1, KETENTUAN UMUM (pasal 1dan 2),dalam bab ini dijelaskan mengenai rumah,perumahan,permukiman dsb dan tentang lingkup peraturan.
  • Bab 2, ASAS DAN TUJUAN (pasal 3 dan 4) menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan permukiman.
  • Bab 3, PERUMAHAN ( pasal 5 s/d 17) menjelaskan aturan2 tentang hak dan kewajiban WN dalam pembangunan perumahan.
  • Bab 4, PERMUKIMAN (pasal 18 s/d 28) menjelaskan bahwa rencana tata ruang ditetapkan oleh pemda,pemerintah memberi bimbingan dan bantuan kpd masyarakat dalam pengawasan bangunan untuk meningkatkan kualitas permukiman.
  • Bab 5, PERAN SERTA MASYARAKAT (pasal 29) berisi tentang hak dan kewajiban yg sama bagi tiap WN dalam pembangunan.
  • Bab 6, PEMBINAAN (pasal 30-35) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan pembinaan agar masyarakat menggunakan teknologi tepat guna.
  • Bab 7, KETENTUAN PIDANA (pasal 36-37) berisi tentang sanksi yang diterima bila melakukan pelanggaran terhadap peraturan2 di atas
  • Bab 8, KETENYUAN LAIN2 (pasal 38-40) mengatur tentang pencabutan badan usaha yang melakukan pelanggaran atas pasal2 di atas


Contoh aplikasi dari UU NO 4 TAHUN 1992 :

PEMBANGUNAN PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG SWASTA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992

Kebijakan pemerintah dan pengaturan hukum dalam pembangunan perumahan oleh Pengembang swasta tertuang dalam peraturan peraturan pemerintah dan /atau peraturan peraturan Menteri negara Aggraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai pelaksanaan dari Undang undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahaan dan Pemukiman. Kebijakan pemerintah sebagai upaya terobosan untuk memperkecil penyimpangan yang terjadi, tidak hanya disusun berdasarkan Undang undang Nomor 4 Tahun 1992 saja tetapi juga melihat kegiatan pembangunan perumahan yang semakin berkembang pesat khususnya pembangunan perumahan yang diselenggarakan oleh pengembang swasta yang menawarkan beraneka ragam konsep pembangunan perumahan yang saat ini diminati oleh konsumen perumahan.

Pembangunan perumahan oleh pengembang swasta hanya diselenggarakan dalam suatu wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah provinsi sebagai kawasan siap bangun atau lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri diatas tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan dan/atau Hak Pakai. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri serta Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

Pasal - pasal yang terdapat dalam pembangunan perumahan oleh pengembang swasta ,yaitu :

Pasal 7

(1) (1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :

a. a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;

b. b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;

c. c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.

(2) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturanpemerintah.

Pasal 23

Pembangunan perumahan yang dilakukan badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.

Pasal 24

Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang pembangunan perumahan wajib :

a. a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang ;

b. b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah ;

c. c. mengkoordinasikan penyelenggaraan persediaan utilitas umum ;

d. d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah ;

e. e. melakukan penghijauan lingkungan

f. f. menyediakan tanah untuk

Pasal 26

(1) (1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.

(2) (2) Dengan memperhatikan kesatuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.

(3) (3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjual belikan tanpa rumah.

KETENTUAN PIDANA

Pasal 36

(1) (1) Setiap orang atau badan yang sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) (2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan / atau dengan setinggi-tinginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) (3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) (4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan dana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 37

Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 38

Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 39

Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut.

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.